Sambas-Mitraplosi.id Mengingat skala permasalahan lahan yang terjadi dihampir seluruh daerah di Indonesia dikutip dari dari data konsursium pembaharuan agraria mencatat 3.234 kasus komplik agraria dalam satu dekade terakhir yang melibatkan 7.4 juta hektar lahan dari 1.8 juta keluarga .
Dibalik angka-angka ini terdapat penderitaan konkret. Petani yang kehilangan lahan garapan,masyarakat adat yg tercerabut dari tanah leluhur, nelayan yang terusir dari wilayah pesisir.
Komplik-komplik ini sengketa batas tanah biasa,melainkan komplik struktural yg berakar pada kebijakan yang memusatkan penguasaan tanah pada segilintir pihak dan sudah berlangsung sejak lama hingga kini.
AKAR STRUKTURAL. Untuk memahami mengapa komplik agraria sulit diselesaikan maka kita perlu memahami dan membedakan komplik agraria struktural dan sengketa pertanahan yang biasa.Komplik struktural memiliki ciri antara lain bersumber dari ketimpangan penguasaan lahan, hanya segilintir pihak yang menguasai lahan luas .Sementara mayoritas rakyat memiliki lahan sempit dan bahkan belum mempunyai tanah hanya mengarap lahan yang konon statusnya hutan produksi.
Zonasi dan sebagainya sementara segilintir pihak atas dalih dan kepentingan investasi bisa menguasai lahan tersebut diproduksi dan dipertahankan oleh pemerintah demi melindungi kepentingan pemodal.
Penyelesaian komplik dan pembentukan kelembagaan khusus ini belum terwujud hingga kini sebab:.
Pertama. Reforma agraria berubah hanya menjadi program administrasif.hanya sekedar menerbitkan sertifikat tanah tanpa menyentuh ketimpangan tentang penguasaan tanahnya baik secara riwayat perolehan sampai riwayat penguasaannya.Jika pengaduan masyarakat direkomandasikan dlm bentuk penyelesaian berkeadilan dan berpihak pada korban dengan cara mengidentifikasi komplik yang terjadi masuk dalam bentuk laporan baik ke DPR ,Komnasham, Kementrian kehutanan,Kementrian ATR/BPN, serta Ombusman ini terjalin harmonisasi hukum.
Kedua. Diperlukan nya harmonisasi hukum agraria dengan UUPA 1960 dan tap MPR no 1 tahun 2001 sebagai dasar pijakan,jika tanpa sinkronisasi dalam hal ini maka yang terjadi adalah masing-masing melahirkan ego sektoral yang berkepanjangan sehingga menimbulkan komplik yg baru . Jika peraturan bertentangan maka sinkronisasi dan keharmonisan hukum diperlukan dalam rangka kajian ulang mengenai aturan tersebut apakah dihapus atau diselaraskan.
Ketiga. Merekomandisikan pembentukan lembaga AD HOC berkewenangan kuat untuk mengakselarasi pelaksanaan reforma agraria dengan cara menata ulang struktur kepemilikan lahan secara terukur ,hal ini untuk mengatasi kelambatan K/L dalam mengeksekusi redistribusi lahan .Lembaga ini bersifat sementara tapi punya pungsi dan mandat yg mengikat
Keempat. Mengevaluasi izin konsesi yg mengunakan lahan yg luas,jika terbukti menimbulkan komplik serta merusak lingkungan atau mengabaikan hak-hak masyarakat dalam hal ini peran DPR harus berani koreksi kebijakan yang sudah dibuat selama ini kepada pihak pemodal dan DPR harus lebih memihak rakyat dari pada pemodal.
Kelima. Memperkuat reforma agraria sejati melalui redistribusi tanah dan dukung program pasca redistribusi bagi petani kecil .Masyarakat adat dan buruh tani bukan legalisasi administratif saja .Reforma agraria harus memproses program redistribusi bagi masyarakat tersebut diatas dengan tujuan mengurangi ketimpangan penguasaan tanah oleh pihak segilintir tersebut diatas .
Keenam. Bangun sistem data agraria nasional terbuka dan terpadu sebagai dasar kebijakan berbasis bukti (Evidevice Based Policy) data akurat soal penguasaan tanah .Komplik dan hak masyarakat ini mutlak dan sangat diperlukan dalam hal riwayat perolehan dan riwayat penguasaan, jika semua yg telah diuraikan diatas dilakukan dan dijalan kan dengan baik dengan dasar pijakan pada UUPA 1960 dan tap MPR no 1 tahun 2001 maka akan menjadi tonggak baru sejarah agraria untuk mengakhiri ketimpangan struktural yang sudah terjadi dan diwariskan puluhan tahun hingga kini .
Untuk renungan kita bersama. Pasal 33 ayat(3) uud 45 menegaskan bumi air dan kekayaan alam dikuasai oleh negara untuk kemakmuran rakyat demikian juga UUPA 1960 bertujuan menata struktur penguasaan tanah secara adil . Jika dari uraian dan paparan tadi hanya menyelesaikan kasus satu persatu tanpa bongkar akar SISTEMIK nya maka ini hanya jadi ruang SIMBOLIK yg hanya menampung keluhan dan aduan BUKAN menata ulang untuk mencari keadilan diatas permasalahan terjadi.
02*